Minggu, 22 Maret 2015

Beberapa Istilah dalam Cultural Studies



1.      Code
Penggunaan code merujuk pada satu set tanda yang berdiri untuk tanda dan makna dari tanda tersebut (Barker 2004, h. 27). Artinya tanda memiliki kesatuan dengan maknanya. Dalam cultural studies, code dipahami sebagai sistem representasi dimana tanda dan makna dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan, bersifat stabil dan natural (Barker 2004, h. 27). Makna dari sebuah tanda merupakan hasil dari sebuah  budaya yang berlangsung secra tetap dan bersifat alamiah.
Contoh, code dalam lampu lalu lintas. Sebelumnya tidak ada peraturan universal mengenai lampu lalu lintas. Warna-warna dari setiap spektrum cahaya lampu diberi nama  seperti merah, orange dan hijau. Namun tidak ada hukum warna universal yang menyatakan bahwa saat lampu berwarna ‘merah’ harus berhenti, ‘kuning’ berhati-hati dan ‘hijau’ menandakan jalan. Ini merupakan code budaya lalu lintas yang menjelaskan tentang hubungan antara tanda dan makna. Dengan adanya kejelasan maka makna menjadi jelas (kita tahu kapan harus berhenti dan kapan harus jalan), ini merupakan hasil dari pembiasaan budaya.
Semiotika dan cultural studies berpendapat bahwa semua benda budaya menyampaikan makna dan praktik budaya. Oleh karena itu code mencakup segala macam praktik budaya (Barker 2004, h. 28). Contoh, pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak erat kaitannya dengan tugas perempuan dan laki-laki berkaitan dengan mesin atau pekerjaan berat. Contoh di atas merupakan code naturalisasi yang berusaha menjelaskan makna esensial dari laki-laki dan perempuan. Budaya ktritis berusaha untuk mengungkap naturalisasi dari makna.

2.      Intertextuality
Makna tidak memiliki arti yang tunggal tetapi merupakan hasil dari hubungan antar text, yaitu intertextualitas (Barker 2004, h. 101). Tidak ada makna denotative yang jelas dan stabil. Intertextuality merupakan perdebatan tanda yang terjadi pada saat postmodernisme.
Kristeva berpendapat bahwa intertextuality mengacu pada akumulasi dan generasi makna dimana semua makna tergantung pada makna lain yang dihasilkan atau digunakan  dalam konteks lain. Barthes juga menyatakan bahwa text tidak memiliki makna tunggal yang bersatu, melainkan tidak stabil dan tidak terbatas pada karya tunggal, kalimat atau teks tertentu.
-          Irigaray, Luce (1932)
Terkait dengan filsafat, linguistic dan psikoanalisis untuk melihat budaya patriarki dan pengecualian perempuan. Tradisi feminism, postructuralism, psikoanalisis.
-          Ironi
Berbatasan dengan penurunan marxisme, ironi dikatakan sebagaifitur dari postmodern. Richard Rorty merupakan pencetus dari konsep ironi dalam teoti sosial dan budaya. Rorty mengatakan dimana konsep tidak memiliki dasar yang universal. Konsep yang tidak memiliki sifat universal dapat di atasi menggunakan dasar nilai-nilai dan tradisi.
Ironi mendasari nilai sosial, budaya dan pluralism politik. Ironi dapat mengacu pada pengetahuan yang telah dikatakan atau dilakukan sebelumnya.

3.      Commodification
Proses yang berhubungan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas dan tanda-tanda menjadi komoditas dan komoditas adalah barang yang tujuan utama untuk dijual (Barker 2004, h. 28). Cultural studies menyatakan bahwa komodifikasi budaya dimana industry budaya (orang dan makna) menjadi komoditas yang melayani kepentingannya. Marx menyebutnya sebagai fetisisme komoditas, barang-barang yang dijual kepasaran mengaburkan asal-usul komoditas.
Salah satu kritik utama dari commodification budaya adalah bahwa hal itu tidak hanya bentuk disiplin dari makna budaya tetapi juga mengubah ornag menjadi komoditas. Misalnya ‘tubuh langsing’ sebagai norma budaya bagi perempuan berpusat pada diet sebagai komoditas serta pemantauan diri. Budaya komoditas menawarkan produk-produk yang bisa mengatasi masalah diet.
Teori postmodern, Baudrillard menyatakan bahwa tanda-nilai telah diganti baik pengguna-nilai dan nilai tukar komoditas dalam budaya kontemporer. Ada budaya yang nilainya ditentukan melalui pertukaran makna simbolis daripada nilai kegunaan. Otoritas budaya terbentuk secara sosial dan nilai-nilai dan gaya hidup menjadi tuhuan dalam self-referensial dari kommoditas.
Barker, C. (2004). The sage dictionary of cultural studies. London: SAGE Publications Ltd.

Teori Retorika Visual



Theory of Visual Rhetoric (Retorika Visual)
Sonja K. Foss


Retorika visual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan citra visual melalui disiplin retorika. Smith et al. (2005, h. 141) menyatakan bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, retorika di zaman Yunani Klasik berkaitan dengan penggunaan simbol-simbol. Sebagai sebuah teori, retorika berkaitan dengan seni berbicara namun tidak hanya sebatas hubungan antar narasi melainkan berbagai macam simbol atau karya visual.
Douglas Ehninger dalam Smith, et al. (2005, h. 141)  menyatakan bahwa retorika tidak hanya secara khusus mengenai simbol verbal melainkan pengertian yang lebih luas dari itu, yaitu segala macam objek visual. Melalui retorika visual seseorang bisa terpengaruh pikiran dan perilakunya melalui penggunaan simbol-simbol yang strategis.
Sloan et al. berpendapat bahwa perspektif retoris diterapkan pada setiap tindakan manusia yang bertujuan untuk membentuk persepsi, sikap dan perilaku (Smith, et al., 2005, h. 141). Melalui karya retorika visual diharapkan bahwa pesan yang ada di dalamnya dapat mempengaruhi setiap orang yang menikmati karya visual tersebut.
Jean Y. Audinger menjelaskan bahwa bahasa memiliki kepastian dalam pemaknaannya karena di dalam bahasa terdapat unit-unit yang sesuai dengan aturan tata bahasa dan sintaksis. Setiap kata memiliki arti yang relatif tetap dan merujuk pada nertalitas dunia. Namun, pengalaman manusia bersifat dinamis dan multidimensional, sering dapat dikomunikasikan hanya melalui citra visual atau simbol. Untuk memahami sebuah konsep dibutuhkan perhatian yang berasal dari simbol.
Retorika visual memiliki dua makna dalam perspektif retorika, yaitu:
a.       Retorika Visual Sebagai Artefak Komunikasi
Retorika visual adalah produk buatan individu (manusia) dengan menggunakan simbol-simbol visual yang bertujuan untuk mempengaruhi audiens baik dari sisi psikologis dan perilaku. Sebuah objek visual menjadi artefak komunikasi jika memiliki tiga karakteristik, di antaranya:
1.      Aksi simbolik : semua sistem komunikasi adalah sistem tanda. Dalam artian sederhana, tanda berkomunikasi ketika berhubungan dengan objek lainnya. Untuk memenuhi syarat sebagai retorika visual, gambar harus memungkinkan individu untuk menilai dengan cara menghubungkan tanda-tanda yang ada dengan fakta yang sebenarnya.
2.      Intervensi manusia : artinya melibatkan manusia dalam proses pembuatannya sehingga menghasilkan sebuah karya visual.  Intervensi manusia memungkinkan transformasi gambar nonretorika ke retorika visual, misalnya: keindahan pantai hanyalah sebuah pemandangan alam, namun jika manusia menjadikan objek tersebut ke dalam lukisan maka hasil dari karya tersebut adalah retorika visual. Retorika visual memerlukan tindakan manusia baik dalam proses penciptaan atau dalam proses penafsiran.
3.      Kehadiran audiens : terkait dengan kehadiran seseorang sebagai pemberi apresiasi untuk menilai sebuah karya visual.

b.      Perspektif Retorika Visual
Yaitu analisis untuk melihat dimensi komunikatif dari karya visual dengan cara melihat satu set gambar  yaitu:
-          Elemen yang disajikan (presented)
Tanggapan langsung terhadap gambar. Contonya, warba, bentuk, garis, terkstur dan sebagainya.
-          Elemen yang disarankan (suggested)
Contohnya, tema, konsep, ide dan lain sebagainya. Komunikasi akan efektif jika yang disarankan sesuai dengan apa yang disajikan.

1.      Sifat gambar
-          Elemen yang disajikan (presented)
-          Elemen yang disarankan (suggested)
2.      Fungsi gambar
Fungsi dari retorika visual adalah untuk dinikmati oleh penonton (viewer). Sebuah karya visual akan memiliki nilai retorika jika dilihat oleh orang lain.
3.      Evaluasi gambar
Upaya untuk memahami atau menilai sebuah karya visual. 


Daftar Pustaka
Smith K., Moriarty S., Barbatsis G., & Kenney K. (2005). Handbook of visual communication : theory, methods, and media. America : Lawrence Erlbaum Associates.

Senin, 09 Maret 2015

Model-Model Penelitian Komunikasi



Model-Model Penelitian Komunikasi

Dalam penelitian, peta adalah model. Model memperjelas apa yang akan diteliti, mengidentifikasi variabel-variabel, dan menunjukkan kemungkinan hubungan di antara variabel-variabel tersebut (Rakhmat 2012, h. 59). Kekaburan masalah penelitian, ketidakjelasan tujuan penelitian, bahkan ketidakjelasan masalah yang diteliti, bermula dari tidak adanya model.
Definisi dari model adalah tiruan gejala yang akan diteliti; model menggambarkan hubungan di antara variabel-variabel atau sifat-sifat atau komponen komponen gejala tersebut (Rakhmat 2012, h. 60). Tujuan utama dari model ialah untuk memudahkan pemikiran yang sistematis dan logis. Sesuai dengan ciri-ciri dari penelitian komunikasi kuantitatif bahwa ‘alat ukur terpisah dari peneliti’ ini yang melatar belakangi bahwa harus adanya alat ukur yang objektif agar batasan konsep tersusun secara sistematik dan terstuktur.
Burch dan Stranger menyebutkan keuntungan dan kerugian model (Rakhmat 2012, h. 60) : 

Keuntungan
1.      model memberikan informasi yang berorientasi pada tindakan
2.      model menyajikan informasi yang berorientasi ke masa depan
3.      model menunjukkan alternatif arah tindakan untuk dievaluasi sebelum dilaksanakan
4.      model menyajikan pemberikan situasi masalah yang kompleks secara formal dan berstuktur
5.      model mencerminkan pendekatan ilmiah untuk tidak menggantungkan diri pada intuisi atau spekulasi

      Kerugian
1.      menggunakan model seringkali lupa bahwa model hanyalah abstraksi kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri
2.      faktor kuantitatif seperti pengalaman dan penilaian diminimalkan atau dihilangkan
3.      proses membuat model sering sukar dan mahal
4.      menggunakan model sering enggan mengubah modelnya sehingga mengalami kesukaran dalam melaksanakannya
5.      banyak model yang menganggap bahwa situasi dunia nyata itu ‘linier’

Dengan adanya kerugian model membuat pengguna model untuk lebih bersikap hati-hati. Bagaimanapun model amat diperlukan dalam penelitian. Berikut beberapa model penelitian komunikasi :

a1. Agenda Setting

Model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media massa pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu (Rakhmat 2012, h. 68). Griffin dalam Kriyantono (2012, h. 224) menyatakan bahwa khalayak akan menganggap isu itu penting karena media menganggap isu itu penting juga.
Stephen W. Littlejhon & Karren Foss dalam Kriyantono (2012, h. 225) mengutip Rogers & Dearing menyatakan bahwa fungsi agenda setting  merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian; (1) agenda media itu sendiri harus disusun oleh awak media; (2) agenda media dalam beberapa hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik terhadap pentingnya isu, yang nantinya akan memengaruhi agenda kebijakan; (3) agenda kebijakan (policy) adalah apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan publik dan privat atau pembuat kebijakan publik yang dianggap penting oleh publik. Penelitian dengan model agenda setting harus memuat tiga unsur di atas.
Werner Severin & James W. Tankard dalam Kriyantono (2012, h. 225) menyampaikan dimensi-dimensi tiga agenda di atas :
1.      Agenda media dimensi-dimensinya:
a.       visibilitas (visibility), yaitu jumlah dan tingkatan menonjolnya berita
b.      tingkat menonjolnya bagi khalayak (audience salience), yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
c.       Valensi (valence), yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa
2.      Agenda publik, dimensi-dimensinya:
a.       keakraban (faminiarity), yakni derajat kesadaran khalayak akan topic tertentu
b.      penonjolan pribadi (personal salience)  yakni relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi
c.       kesenangan (favorability), yakni pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita
3.      agenda kebijakan
a.       dukungan (support), yakni kegiatan menyenangkan bagi posisis suatu berita tertentu.
b.      Kemungkinan kegiatan (likelihood of action), yakni kemungkinanpenerintah melaksanakan apa yang diibaratkan
c.       Kebebasan bertindak (freedom of action), yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.

Secara umum penelitian agenda setting secara kuantitatif digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.1


 


Model lain yang lebih memfokuskan pada efek agenda media terhadap agenda publik disertai efek lanjutan pada pada diri individu dengan memerhatikan kerakteristik individu, disampaikan oleh Rakhmat (2012, h. 227), yaitu:

Gambar 1.2
Variabel
Media Massa
Variabel
Antara
Variabel
Efek
Variabel
Efek Lanjutan
-          Panjang
-          Penonjolan
-          Konflik(cara penyajian bahan)
-          Sifat Stimulus
-          Sifat Khalayak
-          Pengenalan
-          Salience
-          Prioritas

-          Persepsi
-          Aksi


Mengukur Agenda Media
Variabel media massa diukur melalui analisis isi kuantitatif. Analisis ini untuk menentukan ranking berita berdasarkan panjangnya (waktu dan ruang), panonjolan tema berita (ukuran headline, penempatan, frekuensinya), konflik (cara penyajiannya).

Mengukur Agenda Publik
Variabel angenda publik (khalayak) dapat diukur melalui beberapa cara (Kritantono 2012, h. 227):
a.       meminta self-report khalayak tentang topic-topik apa yang dianggap penting oleh responden
b.      responden diminta mengisi isu-isu apa yang penting ke dalam daftar isu-isu yang disediakan peneliti
c.       responden diberi data yang diseleksi peneliti dan responden diminta membuat ranking mengenai penting tidaknya isu menurut persepsi responden
d.      paired-comparasion, setiap isu yang diseleksi sebelumnya dipasangkan denagn setiap isu yang lain dan responden diminata mengenal setiap pasang dan mengidentifikasi isu mana yang lebih penting
e.       sedangkan variabal antara dan efek lanjutan ini adalah variable yang berpotensi memengaruhi agenda publik.
Contoh:
1.      Menentukan permasalah: “Apakah agenda media memengaruhi agenda publik?”
2.      Menentukan kerangka pemikiran (kerangka teori), menjawab permasalahn secara teoretis.
Hipotesis teoretis:
Agenda media memengaruhi agenda public
Definisi konseptual:
Agenda media = isu-isu yang memperoleh penonjolan dalam media
Agenda publik = isu-isu yang dianggap publik sebagai isu-isu penting
3.      Menetukan metodologi, unit populasi, sampel, dan metode pengukuran
Definisi operasional:
Agenda media = ranking isu yang diberitakan Kompas berdasarka frekuensi pemberitaan mengenai isu-isu tersebut
Agenda publik = ranking isu yang dinilai penting oleh publik, berdasarkan prosentase individu yang mengatakan bahwa isu-isu tersebut penting
4.      Merumuskan hipotesis:
“Semakin tinggi ranking suatu isu dalam pemberitaan Kompas, semakin tinggi pula ranking isu yang bersangkutan dalam penilaian khalayak, sebaliknya semakin rendah ranking suatu isu dalam pemberitaan Kompas, semakin rendah pula ranking isu yang bersangkutan dalam penilaian khalayak”.
5.      Menentukan metode pengumpulan data:
Kerena ada dua metode riset, yaitu analisis isi dan survey, maka terdapat pula dua metode pengumpulan data yang harus dilakukan, yaitu dokumentasi (untuk mengukur agenda media) dan survei khalayak kuesioner (survey khalayak).
6.      Menentuka metode analisis:
Jelas menggunakan metode ekplanatif karena karena menjelaskan minimal dua variabel.
7.      Korelasi lebih dari dua agenda
Menggunakan rumus Rho Spearman:
 

Dimana :       a  = jumlah set ranking (dalam hal ini agenda yang diteliti)
                     S  = total ranking yang diberikan untuk setiap isu
                     N = Jumlah isu


b2.  Uses and Gratification

Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Yang menjadi fokus pada penelitian Kats, Blumer dan Geruvitch (Jalaluddin 2012, h. 65) ialah (1) sumber sosial dan psikologis dari (2) kebutuhan, yang melahirkan (3) harapan-harapan dari (4) media massa atau sumber-sumber lain, yang menyebabkan (5) perbedaan pola terpaan media (atau terlibat dengan kegiatan lain), dan menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) akibat lain, bahkan seringkali akibat-akibat yang tidak dikehendaki.

Gambar 2.1
Elemen-elemen teori Uses & Gratification
 










Elemen “pola terpaan media yang berlainan” pada teori Uses and Gratification berkaitan dengan media exposure atau terpaan media. Exposure lebih dari sekedar mengakses media. Exposure tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa, akan tetapi apakah seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan-pesan media massa tersebut.Exposure merupakan kegiatan mendengar, melihat, dan membaca pesan-pesan media massa ataupun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut.
Menurut Rosengren (Kriyantono 2012, h. 209) media exposure (terpaan media) dapat dioprasionalisasikan menjadi jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai jenis media, isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antar individu konsumen isi media yang dikonsumsi atau dengan media keseluruhan.




Gambar 2.2
Model Uses & Gratification
 










Salah satu penelitian Uses & Gartification yang saat ini berkembang adalah dibuat oleh Philip Palmgreen. Ia ingin melihat apakah khalayak puas setelah menggunakan media. Konsep kepuasan ini disebut GS (gratification sought) dan GO (gratification obtained). GS adalah kepuasan yang ingin dicari atau diinginkan individu ketika mengkonsumsi suatu jenis media tertentu. GO adalah kepuasan yang nyata yang diperoleh seseorang setelah mengonsumsi suatu jenis media tertentu.
Mengukur GS dan GO peneliti dapat mengetahui kepuasan khalayak berdasarkan kesenjangan kepuasan (discrepancy gratification). Indikator terjadinya kepuasan atau tidak sebagai berikut:
1.      Jika mean skor GS>GO, maka media tidak memuaskan khalayaknya
2.      Jika mean GS=GO, maka jumlah kebutuhan terpenuhi
3.      Jika GS<GO, maka media memuaskan khalayak
Contoh:
1.      Judul : “Perbedaan kepuasan pengguna internet pada situs Liputan6.Com dan Seputarindonesia.com di Sidoarjo”
2.      Rumusan masalah
a.       Apakah ada kepuasan pada pengguna situs Liputan6.com dan Seputarindonesia.com?
b.      Apakah ada perbedaan tingkat kepuasan pengguna internet pada situs Liputan6.com dan Seputarindonesia.com?
3.      Tujuan dan manfaat penelitian
4.       Tinjauan puataka
a.       GS      à      Media Use Internet     à       Persepsi mengenai GO
b.      Hipotesis teoritis
5.      Metodologi

                                              
c3.  Content Analysis

Menurut Berelson & Kerlinger analis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, objektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak, sedangkan menurut Budd analisis isi adalah suatu teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang terpilih (Kriyantono 2012, h.232).
McQuail mengatakan bahwa tujuan dilakukan analisis isi pesan komunikasi (Kriyantono 2012, h. 233):
-          mendeskripsikan dan membuat perbandingan terhadap isi media
-          membuat perbandingan antara isi media dengan realitas sosial
-          isi media merupakan refleksi dari nilai-nilai sosial dan budaya serta sistem kepercayaan masyarakat
-          mengetahui fungsi dan efek media
-          mengevaluasi media performance 
-          menegetahui apakah ada bias media

Penjelasan lain mengenai tujuan analisis isi yang disampaikan Wimmer & Dominick dalam Kriyantono (2012, h. 234), yaitu:
-          menggambarkan isi komunikasi
-          menguji hipotesis tentang karakteristik pesan
-          membandingkan isi media dengan dunia nyata
-          memperkirakan gambaran media terhadap kelompok tertentu di masyarakat
-          mendukung studi efek media massa
Contoh :
1.      Judul = Analisis Isi Berita Harian Rakyat Merdeka
Permasalahan = “Tema-tema berita apa saja yang dimuat Harian Rakyat Merdeka selama tahun 2005?”
Kerangka pemikiran (kerangka konseptual)
(1)   Definisi konsep “berita”
(2)   Landasan menentukan oprasionalisasi konsep
2.      Metode riset
-          Operasionalisasi konsep
-          Populasi dan sampling
-          Metode analisis



d4. Rating Research
Rating research digunakan untuk mengetahui jumlah khalayak (audience size) (Kriyantono 2012, h.372). Audience size untuk media cetak bisa langsung diperoleh dari sirkulasi sedangkan rating digunakan untuk media elektronik. Riset rating akan menghasilkan banyak informasi mengenai media televisi dan radio. Misalnya, untuk mngetahui program televisi apa yang paling banyak ditonton oleh khalayak. Pada jam berapa orang paling banyak menonton televisi, stasiun tv apa yang paling banyak penontonnya, dan sebagainya.
Beberapa metode mengukur rating menurut A.C. Nielsen dalam Kriyantono (2012, h. 272):
a.       Audimeter
Alat modern yang digunakan untuk mensurvei perilaku menonton tv dan mendengarkan radio khalayak. Audiometer adalah pencatat elektronik yang bisa ditempelkan baik pada radio maupun televisi serta melakukan pencatatan pada suatu pita (tape) apabila radio atau televisi dinyalakan atau bila pemilihan-pemilihan suatu program.
b.      Channel Diaries
Meminta khalayak untuk mengisis atau merekan aktivitas mengonsumsi media dalam sebuah buku harian.
c.       Phone interview
Menggunakan interview melalui telefon. Sampel diminta untuk memberikan keterangan-keterangan terkait anggota rumah tangga yang melihat televisi atau mendengarkan radio serta program dan pesan apa yang dilihat dan didengar.
d.      People meter
Alat yang dikendalikan secara manual yang mempunyai 8 tombol untuk keluarga dan 2 tombol tambahan untuk tamu. Seorang anggota keluarga dan tamu harus menekan tombol numeriknya ketika ia melihat program tertentu. Meter tersebut akan secara otomatis mencatat program-program yang dipilih, berapa banyak rumah tangga yang menonton, dan anggota keluarga mana yang hadir.

Contoh:
Menghitung rating

Stasiun TV
Rumah Tangga yang Menonton
(Household Viewing)
RCTI
SCTV
TransTV
Tidak menonton
1.000
1.500
850
1.650
5.000

Misalnya, data sampel dari total populasi sebesar 100 juta rumah tangga yang menonton TV. Dari populasi dipilih sampel sebanyak 5.000 rumah tangga.

Rating =  

Rating RCTI      :                   20% x 100 juta = 20 juta
Rating SCTV     :                   30% x 100 juta = 30 juta
Rating TransTV :                   17% x 100 juta = 17 juta
House Using Television (HUT) atau Persons Using Radio (PUR)
a.       67% dari seluruh rumah tangga mempunyai tv dan menonton salah sati dari tiga stasiun televisi.
b.      HUT = 0.67 x 5.000 = 3.350. formula yang sama dapat digunakan untuk populasi, yaitu : 67% x 100 juta = 67.000.000 dari 100 juta rumah tangga (67%)

Audience Share
Adalah persentase dari HUT dan PUR yang menyetel stasiun, channel atau jaringan tertentu.

Share =

Audience Share RCTI                        :
Audience Share SCTV           :
Audience Share TransTV        : %

5. Jaringan Komunikasi

Menurut Kriyantono (2012, h. 319) analisis jaringan komunikasi bertujuan untuk mengetahui bagian-bagian arus informasi terpolakan yang mengalir dalam individu-individu pada sebuah sistem. Menurut Rogers & Kincaid (Kriyantono 2012, h. 320) mengatakan bahwa analisis jaringan komunikasi adalah sebuah metode riset untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam sebuah sistem, di mana data yang berhubungan dengan arus komunikasi di analisis dengan menggunakan tipe-tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisisnya. Sedangkan struktur komunikasi didefinisikan sebagai susunan dari elemen-elemen yang berbeda yang dapat dekenal melalui satu pola arus komunikasi dalam suatu sistem.
Analisis jaringan komunikasi berbeda dari model komunikasi yang bersifat linear, individu pasif dan bersifat terpisah. Pada analisis jaringan, proses komunikasi bersifat sirkuler di mana terjadi pertukaran informasi antarindividu. Tidak terlihat perbedaan yang tajam antara sumber dan penerima, sehingga arus komunikasi terjadi antara partisan-partisan dalam suatu jaringan, masing-masing bertindak sebagai pengirim dan penerima pesan.
Prosedur riset jaringan komunikasi menurut Rogers & Kincaid dalam Kriyantono (2012, h. 232):
1.      Mengidentifikasi klik-klik dalam keseluruhan sistem dan menetukan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku komunikasi dalam sistem.
2.      Mengidentifikasi beberapa penanan komunikasi yang terspesialisasi, seperti laison, bridge, dan isolate.
3.      Mengukur variasi struktur komunikasi (seperti hubungan-hubungan komunikasi) dia ntara individu, diadi, jaringan interpersonal, klik-klik, atau keseluruhan sistem.

 Sikap Parpol
Masalah :
“Apakah ada hubungan antara sikap pemilihan pemula terhadap parpol dengan sikap orang tua terhadap parpol?”

Instrumen :
Sikap orang tua saya terhadap PAN?
a.       SS   b. S   c. CS   d. TS   e. STS
Sampel
Dipilih 100 siswa SMU

Riset di atas tidak valid karena ada dua alasan. Pertama, alat ukurnya tidak sesuai dengan apa yang akan diukur. Kedua, sampel seharusnya mewakili pemilih pemula dan orang tua.
Hipotesis riset:
“Ada hubungan antarasikap pemilihan pemula terhadap parpol dengan sikap orang tua terhadap parpol”
“Tidak ada hubunga antara sikap pemilihan pemula terhadap parpol dengan sikap orang tua terhadap parpol”
Definisi operasional:
Variabel X (pengaruh/independen)
Sikap orang tua terhadap parpol

Variabel Y (terpengaruh/dependen)
Sikap pemilihan pemula terhadap parpol

Instrumen:
Sikap pemilihan pemula
-          Anda memiliki referensi parpol dari orang tua
a.       SS   b. S   c. CS   d. TS   e. STS

Sikap orang tua terhadap parpol
-          Anda adalah warga yang aktif dalam pemilu
a.       SS   b. S   c. CS   d. TS   e. STS

Sampel:
100 siswa SMU
100 orang tua siswa SMU



Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2012). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rakhmat, J. (2012). Metode penelitian komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.